Resensi Buku Tema Lengkap; Hanyut 2

Resensi Buku; Hanyut 2

Jalan Sunyi Seorang Mangawan
Membaca novel gravis berjudul “Hanyut 2” karya Yoshihiro Tatsumi (2010) membuat kita melongok ke Jepang pasca penghancuran Hirosima dan Nagasaki. Karena Latar yang disajikan dapal novel ini berkisar antara tahun 1953an. Perjuangan rakyat Jepang untuk menggapai kemerdekaan batin dan kemerdekaan untuk berpikir. Terlihat novel dengan cover berwarna kuning ini bukan hanya menyuguhkan cerita, namun pembaca akan diajak bergumul dengan sejarah. 

Banyak halaman yang menerangkan deskripsi dari kejadian sejarah dan sesuatu yang merubah wajah masyarakat Jepang. Di halaman awal kita langsung bisa membaca bahwa di bulan Oktober 1953, film Amerika “Shane” diputar. Kemudian diberi keterangan juga bahwa pada tahun ini, terdapat film-film sangat laris, diantaranya film Prancis “Jeux Interdits,” “Limelight” oleh Chaplin dsb. Ditambahkan juga bahwa Film-film berwarna pun mulai mendarat di Jepang satu persatu.

Film memang menjadi salah satu penentu perjalanan dalam sejarah. Di Halaman 51, diterangkan bahwa pada tanggal 26 april, film tujuh samurai karya Kurosa yang menjadi buah bibir masyarakat mulai diputar.

Kabar sejarahpun berlanjut. Kita bisa membuka pada Halaman 111 yang mengisahkan tragedi besar. Pada tanggal 26 september pada tahun yang sama terjadi bencana terbesar dalam sejarah kecelakaan laut di jepang. Tragedi terbaliknya “Toya-Maru” kapal penghubung pulau Honsu dan Hokkaido. Korban jiwa dan hilang mencapai 1.155 orang. Penggambaran sejarah ini menjadikan karya lebih hidup dan seakan menjadi kisah nyata yang pernah dilihat oleh penulisnya.

Sebenarnya jika kita mengamati, untuk adegan-adegan yang digambarkan dalam manga ini sebenarnya hanya terbatas. Kisah berlatar sekitar rumah, bioskop, jalan, dan beberapa kantor penerbit yang hanya berjumlah tidak lebih dari jari kanan. Namun jalan cerita bisa mengalir dengan empuk dan nikmat untuk dicermati.

Jalan cerita seperti halnya mentari yang terbit setiap harinya. Selalu terjadi. Namun munculnya matahari itu tidak pada waktu yang sama, namun hadir dan tenggelam dalam waktu yang berbeda. Begitu juga dengan kisah dengan tokoh utama Hiroshi ini. kesehariannya adalah menggambar manga dan menyerahkannya kepada penerbit untuk diterbitkan. Namun tidak mudah seperti membalikkan tangan. Semua memerlukan perenungan yang dalam dan tentunya kerja keras. Dan hal seperti itu selalu terulang dan terulang kembali.

Dalam keseharianya yang selalu berproses sebagai mangawan(komikus) itu telah mengantarkan Hiroshi memasuki hari-hari dan kesibukan bersamanya. Yang secara tidak sadar ia telah mengambil jalan mangawan sebagai jati dirinya yang sesungguhnya. Bahkan ia rela tidak kuliah. Padahal ibunya selalu membujuk anaknya itu untuk berkuliah. Namun Hiroshi telah hanyut ke dalam dunia manga, dan ia hanya menjawab,”Belajar sambil berkarya itu tidak mungkin.”

Karena jalan manga yang ia tempuh, maka banyak hari-hari yang dilalui hanya dengan pena dan buku kosong. Berteman meja dan sorot lampu di malam hari. Perenungan itupun berlanjut. Secara apik penulis melukiskan perenungan seorang mangawan. Kita bisa membacanya pada halaman 141. Awalnya perenungan itu mengenai pertanyaan yang ditujukan kepada diri sendiri,”kenapa saya membuat manga?”

Pertanyaan ini mungkin pernah mampir dalam benak kita semua. Benak seorang pekerja apapun, entah itu pejabat, pengusaha, dokter, penulis, guru, dosen, pedagang, petani, maupun seorang pengangur sekalipun. Setelah bertanya kepada diri sendiri, kebanyakan jawaban akan berpusat kepada pendapatan untuk biaya dan kebutuhan hidup. Begitu juga dengan Hiroshi, tulisan dibawah pertanyaan itu adalah, “Tentu Hiroshi tidak ragu untuk menjawab bahwa inilah upaya untuk mendapatkan biaya hidup.”

Itu adalah jawaban sederhana dari perenungan tentang sebuah pekerjaan yang telah dipilihnya. Namun di kotak gambar selanjutnya ada perkataan hati Hiroshi yang cukup mengagetkan, “Namun Hiroshi bukan hanya itu yang memotivasi dirinya untuk terus berkarya. Sebagai seorang bocah 19 tahun tanpa jaminan masa depan, dia hanya bisa bermain di dunia khayalan sebagai sumber kekuatan. Bekerja dalam kesendirian di depan meja yang menyengsarakan mengisi kertas putih dengan pena dan tinta hitam. ini cara untuk memperoleh kebebasan.”

Ya, kebebasan berpikir bisa kita dapat dari menelurkan kreativitas kita melalui tulisan maupun gambar. Disini kita akan bergerak bebas sesuai dengan pikiran kita. Melalui pesan yang disampaikan Kita akan menjadi diri kita yang sesungguhnya. Pesan yang datang dari diri, rasa, benak  dan pikiran kita.  

Hiroshi kembali berkata dalam halaman berikutnya,”Tidak ada kebebasan di dunia nyata. Ketika berkreasi dan menghasilkan sesuatu dari nol, barulah dia dapat hidup dalam dunia bebas tanpa batas.” Dalam dunia khayalan ia dapat merubah menjadi apa saja. Kehidupannya sama sekali tidak mudah secara materi, tetapi biar bagaimanapun juga tetap ada kepuasan tersendiri.

Namun yang perlu direnungkan adalah untuk tetap dalam pencarian ilmu dan memperbanyak pengalaman untuk mengisi pikiran agar tidak terjadi kekosongan ide untuk berkarya. Perenungan tidak hanya melamun, namun juga menghadirkan tindakan yang nyata untuk memperbaiki diri dan menambah wawasan tentang sesuatu yang sudah menjadi pilihan hidup. Yang dilakukan Hiroshi adalah berusaha memperlebar dunianya dan pengalaman hidupnya yang masih pendek dengan membaca dan menonton bioskop.

Kegiatan membaca ini ia dapatkan dari kakaknya, Oki, yang juga seorang mangawan. Namun  Oki sempat cuti tidak bisa berkarya karena mempunyai penyakit TBC. Kisah Oki dengan penyakit ini dikisahkan dalam buku hanyut 1. Setelah sembuh dari penyakitnya Oki mencari kerja dan akhirnya sering membolos kerja untuk membuat manga. Hiroshi sedikit demi sedikit belajar dari kakaknya. Jika Oki sedang frustasinya dan tidak punya ide untuk menggambar maka pelampiasannya adalah dengan membaca buku. Oki selalu menyelami dunia buku untuk menambah wawasannya dan untuk mendapatkan sebuah ide. Hiroshipun seakan mengerti akan kegaduhan pikirannya saat suntuk dan susah mendapatkan ide karena jarang membuka buku.

Ditengah-tengah kegalauannya Hiroshi merasa ada saingan yang harus ia tundukan. Namun ia belum bisa menundukannya. Yang ada hanyalah setitik rasa iri karena merasa tersaingi. Beberapa adegan menggambarkan kegelisahan Hiroshi mengenai ketersaingannya dengan salah satu mangawan sejawatnya. Pada halaman 160 kita bisa melihat dan membaca. “Aku keduluan. Hiroshi merasa gelisah dan tidak sabar. Dia merasa kalah bersaing dengan Matsumoto.”

Diujung cerita inipun menggambarkan sesosok Hiroshi yang lagi-lagi merasa kalah bersaing dalam pembuatan naskah manga. Untuk halaman terakhir sebagai kalimat penutup dituliskan,“ Sekali lagi Hiroshi kalah bersaing. Pikiran Hiroshi jadi kosong.”

Aku menduga, jika kelak aku bisa mendapatkan seri Hanyut yang ke-3 dan ke-4, maka cerita Hanyut akan selalu menceritakan perjalan Hiroshi kepada sebuah prestasi yang unggul untuk menjadi seorang Mangawan. Ini menjadi pelajaran bagi kita semua, bahwa untuk menuju ke sebuah hal yang kita inginkan selalu dibutuhkan semangat perjuangan yang tinggi. Tidak hanya berpangku tangan dan hanya melamun. Akan ada rintangan-rintangan dan halalangan serta saingan ketat yang harus kita tundukan. Seperti halnya yang dilakoni oleh tokoh utama dalam novel gravis Hanyut 2 ini, Hiroshi.


Oleh: bisri nuryadi
Catatan :
Buku dibeli di Goro assalam pada malam hari di bulan Januari 2014

Resensi digarap setaun kemudian pada tanggal 22 Mei 2015 

Share :

Facebook Twitter Google+
0 Komentar untuk "Resensi Buku Tema Lengkap; Hanyut 2"

Back To Top